Minggu, September 07, 2014

Kebangkitan Rock and Roll

         Namaku John, Ibuku, Julia adalah seorang Rock and Roll sejati. Menikmati hidup dengan semua yang dipunya dengan banyak bersyukur, sedangkan tanteku, Mimi adalah seorang wanita yang hidup dengan kelas. Kelas yang hanya dimiliki mereka yang berada di atas.
Suatu sore, Julia dan aku pergi ke suatu bar. Dia menyalakan rokoknya, bernyanyi dan menari Rock and Roll.
Step in my rocket and don’t be late, We’re pulling out about half past eight.” “Apa kau tau Rock and Roll ?” Tanya Julia. Aku hanya diam dan tersenyum.
Hari demi hari ku jalani dengan Ibuku, aku bolos dari sekolah dan mengenal Rock and Roll dengan Ibuku. Aku melakukannya diam – diam tanpa sepengetahuan Tante Mimi.  Suatu hari aku memohon untuk diajarkan memainkan banjo dengan musik Rock and Roll.
Ooh, Maggie, Maggie Mae, They have taken her away, and she won’t be walking Lime Street any more. Well, the judge, he guilty found her of robbing a homeward bounder. You dirty, robbin’ no good Maggie Mae.” Dia bernyayi Maggie Mae, lalu aku bertanya “Siapa Maggie Mae ?” dia menjawab “Seorang Pelacur.”
Aku berlatih siang malam untuk mampu memainkan musik Rock and Roll dengan banjo Ibuku. Sampai akhirnya aku menemukan nadaku sendiri.
Suatu ketika, Tante Mimi mendapat laporan dari sekolah bahwa aku bolos sekolah. Tante Mimi langsung ke rumah Ibuku dan langsung memarahi kami.  “Ini mungkin hidupmu, kekacauan yang besar, tapi bukan dia. Apakah kau sadar dia telah diskors ?” teriak Tante Mimi. “Ya” jawab Ibuku. Kemudian Tante Mimi menyuruhku untuk pulang, tapi aku tidak mau. Ibuku lalu mengusir Tante Mimi “Get out of my house.”
Aku sadar akan kesalahanku, aku pulang ke rumah Tante Mimi. Lalu aku bilang “Aku akan membuat sebuah group band Rock and Roll. Aku ingin seperti Elvis” Tak kusangka, dia mengizinkannya, segera setelah itu, Tante Mimi mengajakku untuk membeli gitar untukku. Gallotone Champion, seharga 7 pounds.
Aku kembali sekolah untuk membuat band skiffle­-ku sendiri. Aku merekrut anggota bandku di toilet sekolah. Konser pertama kami adalah di atas truk kecil di sebuah karnaval. Band kami menyanyikan lagu Maggie Mae, cukup indah saat kami memainkannya.
Di balik layar setelah permainan kami selesai, ada seorang anak ingin bergabung dengan band kami, sebut saja Paul.
“Mau beer ?” tanyaku pada Paul.
“Well, gue suka teh. Ada yang mau request ?” Paul bertanya lagu apa yang harus dinyanyikannya. Lalu dia memainkan lagu Twenty Flight Rock dengan keren dan tangan kiri, sesuatu yang unik buat kami.
“Berapa umurmu ?” Tanyaku pada Paul “Lima belas.” Jawab Paul “Kapan ?” tanyaku lagi “Bulan Lalu.” Jawab Paul. “Maaf, Tick-tock, senang bertemu denganmu, tapi kami ada latihan.” Itul kalimatku saat menolaknya masuk ke band. Tapi sesaat sebelum Paul pergi, aku mengajaknya untuk berlatih gitar bersama di rumah Tante Mimi.
“Blue Moon. You saw me standing alone. Without a dream in my heart. Without a love in my own.” Tak lama kemudian, Tante Mimi yang sedang membaca novel dan menikmati kedamaian terganggu, dan mengusir kami keluar rumah.
Aku berlatih, waktu demi waktu tanpa memperdulikan nilaiku di sekolah. Aku membuat banyak laguku sendiri. Sampai akhirnya Tante Mimi mendapat laporan tentang nilaiku. “Dimana gitarku !” tanyaku pada Tante Mimi. “Aku telah menjualnya.” “Tumbuhlah, John. Berhentilah bertingkah seperti anak kecil.” “Enyahlah, Mimi.” Aku lalu pergi ke rumah Ibuku untuk meminta uang dan menebus kembali gitar yang telah menemaniku selama ini.
Dengan gitar yang sudah ditebus, kini aku dan bandku telah melakukan konser di banyak club dan café di Liverpool. Ingatlah satu hal, di saat itu Rock and Roll sudah banyak ditinggalkan orang, Jazz menjamur dimana – mana. Tapi ingatlah, Rock and Roll tak akan mati.
Lalu kami bertemu dengan George di bus dan mengajaknya untuk bermain di band. George, Aku dan Paul memegang Gitar dan Stuart sebagai Drummer, It’s simply awesome for a local band, itulah kurang lebih kalimat yang ada di pikiranku. Dengan singkat, kepopuleran The Quarryman menjamur kemana – mana.
Abdullah













***

Rabu, September 03, 2014

ada masukkan buat judulnya ?

Namaku, John. Sejak kecil, aku tinggal bersama tante dan omku. Orang tuaku berpisah sewaktu aku kecil. Ayahku melaut dan tak pernah terdengar kabarnya lagi, sedangkan ibuku, dia menikah dengan lelaki lain.
Sore itu waktu Liverpool, aku dan omku tengah memasang radio di kamarku. Setelah itu, menyetel lagu Tchaikovsky dan kami bersama meminum beer sampai larut malam, sedangkan tanteku, dia hanya membaca novel sambil … “Jangan mainkan Tchaikovsky terlalu kencang” teriak tanteku dibawah. “Oke, Mimi, hahahahaha” balas kami. “Kau tau John ?” kata omku, “Mimi tidak pernah bahagia, bahkan setelah menikah denganku.”
Aku hanya diam sambil tiduran di atas ranjangku. Kemudia omku bangun dan beranjak keluar dari kamarku. Tapi tiba – tiba dia jatuh. Aku tertawa setelah itu, aku pikir dia pingsan karena terlalu mabuk. “George, bangunlah. Hahaha, you gotta be kidding me, hahaha.” Sedetik setelah aku tertawa, aku sadar bahwa omku tidak pingsan.
Tante Mimi segera menelepon ambulance, ambulance datang 3 menit kemudian. Om George ke rumah sakit bersama Tante Mimi saat itu. “Dia akan baik saja secepat hujan.” kata Tante Mimi dengan santai.
Tante Mimi menatapku dengan tatapan kosong di pagi harinya. “George telah mati.” 3 kata yang saat itu tidak kupercayainya. “hahaha, kau bohong, kan ?.” Tante Mimi langsung pergi ke dapur tanpa mengucap sepatah katapun. Aku menangis dan langsung memeluk Tante Mimi dari Belakang.
“Tolonglah, jangan berbuat hal tolol.” Katanya dengan nada yang datar.

“Kalau kau ingin melakukannya, lakukanlah di kamarmu.” Aku bisa melihat kesedihan dari matanya, tapi aku tau dia adalah wanita yang kuat. Aku bahkan tidak melihat air matanya jatuh.
Setelah itu, kami mengkremasi Om George dan meninggalkan abunya di pemakaman terdekat. Dan Tante Mimi tetap menahan air matanya yang kuyakin mampu mengisi penuh gelas kosong.
Keesokan paginya, aku dan sepupuku pergi ke rumah ibuku, Julia. Tapi sebelum kutinggalkan rumah, aku berpamitan dengan Tante Mimi.
“John, apa kau telah membawa kacamatamu ?” Tanya Tante Mimi.
“Ada di kantung bajuku.” “Apa kantung bajumu buta ?” Segera aku langsung memakai kacamataku. “Well, sekarang kalian harus berhati – hati. Berhati – hati pada siapapun kalian  
Kami berjalan ke rumah Ibuku, Julia. Saat sampai, Julia langsung memelukku hangat. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kalinya Julia memelukku.
“Aku tau kau akan datang,” kata Julia,  “Bagaimana aku tau ? Karena aku membuat kue.” Julia membagikan kuenya untukku “Bagaimana ? Enak ?” Julia bertanya padaku, aku hanya mengangguk dan tersenyum. “Vanilla Buns” lanjut Julia. Julia kemudian membagikan kuenya ke seluruh penghuni meja makan.
Ibuku adalah seorang Rock and Roll sejati. Saat dia melihatku membawa mouthie (harmonica) dia langsung meminta izin untuk memainkannya. Dan aku setuju untuk itu. Dia  memainkannya dengan indah. Bagai seorang Rocker professional.
Julia dan aku pergi ke suatu bar. Dia menyalakan rokoknya, bernyanyi dan menari Rock and Roll.
Step in my rocket and don’t be late, We’re pulling out about half past eight” itulah sedikit lirik yang dia nyanyikan saat itu. “Apa kau tau Rock and Roll ?” Tanya Julia. Aku hanya diam dan tersenyum.
Hari demi hari ku jalani dengan Ibuku, aku bolos dari sekolah dan mengenal Rock and Roll dengan Ibuku. Aku melakukannya diam – diam tanpa sepengetahuan Tante Mimi. Akhirnya suatu hari aku memohon untuk diajarkan memainkan banjo dengan musik Rock and Roll.
Ooh, Maggie, Maggie Mae, They have taken her away, and she won’t be walking Lime Street any more. Well, the judge, he guilty found her of robbing a homeward bounder. You dirty, robbin’ no good Maggie Mae.” Dia bernyayi Maggie Mae, lalu aku bertanya “Siapa Maggie Mae ?” dia menjawab “Seorang Pelacur.”
Aku berlatih siang malam untuk mampu memainkan musik Rock and Roll dengan banjo Ibuku. Sampai akhirnya aku menemukan nadaku sendiri.
Suatu ketika, Tante Mimi mendapat laporan dari sekolah bahwa aku bolos sekolah. Tante Mimi langsung ke rumah Ibuku dan langsung memarahi kami.  Saat itu, kami sedang memainkan lagu “That Will be the Day”. “Ini mungkin hidupmu, kekacauan umum yang besar, tapi bukan dia. Apakah kau sadar dia telah diskors ?” teriak Tante Mimi. “Ya” jawab Ibuku. Kemudian Tante Mimi menyuruhku untuk pulang, tapi aku tidak mau. Ibuku lalu mengusir Tante Mimi “Get out of my house.”
Lalu aku pulang ke rumah Tante Mimi. Lalu aku bilang “Aku akan membuat sebuah group band Rock and Roll.” Tak kusangka, dia mengizinkannya, segera setelah itu, Tante Mimi mengajakku untuk membeli gitar untukku. Gallotone Champion, seharga 7 pounds, Tante Mimi menawarnya dari 8 ponds sekian, itu harga yang cukup besar saat itu.
Aku kembali sekolah untuk membuat band skiffle­-ku sendiri. Aku merekrut anggota bandku di toilet sekolah, cukup lucu tapi itu faktanya. Konser pertama kami adalah di atas truk kecil dan di sebuah karnaval. Band kami menyanyikan lagu Maggie Mae, cukup indah saat kami memainkannya.
Di balik layar setelah permainan kami selesai, ada seorang anak ingin bergabung dengan band kami, sebut saja Paul.
“Mau beer ?” tanyaku pada Paul.
“Well, gue suka teh. Ada yang mau request ?” Paul bertanya lagu apa yang harus dinyanyikannya. Lalu dia memainkan lagu Twenty Flight Rock dengan keren dan tangan kiri, sesuatu yang unik buat kami.
“Berapa umurmu ?” Tanyaku pada Paul “Lima belas.” Jawab Paul “Kapan ?” tanyaku lagi “Bulan Lalu.” Jawab Paul. “Maaf, Tick-tock, senang bertemu denganmu, tapi kami ada latihan.” Itulah kalimatku saat menolaknya masuk ke band. Tapi sesaat sebelum Paul pergi, aku mengajaknya untuk berlatih gitar bersama di rumah Tante Mimi.
“Blue Moon You saw me standing alone without a dream in my heart.” Tak lama kemudian, Tante Mimi yang sedang membaca novel dan menikmati kedamaian terganggu, dan mengusir kami keluar rumah.
Aku berlatih, waktu demi waktu tanpa memperdulikan nilaiku di sekolah. Aku membuat banyak laguku sendiri. Sampai akhirnya Tante Mimi mendapat laporan tentang nilaiku. “Dimana gitarku !” tanyaku pada Tante Mimi. “Aku telah menjualnya.” “Tumbuhlah, John. Berhentilah bertingkah seperti anak kecil.” Aku lalu pergi ke rumah Ibuku untuk meminta uang dan menebus kembali gitar yang telah menemaniku selama ini.
Dengan gitar yang sudah ditebus, kini aku dan bandku telah melakukan konser di banyak club dan café di Liverpool. Ingatlah satu hal, di saat itu Rock and Roll sudah banyak ditinggalkan orang, Jazz menjamur dimana – mana. Tapi ingatlah, Rock and Roll tak akan mati.
Lalu kami bertemu dengan George di bus dan mengajaknya untuk bermain di band. George, Aku dan Paul memegang Gitar dan Stuart sebagai Drummer, It’s simply awesome for local band, itulah kurang lebih kalimat yang ada di pikiranku. Dengan singkat, kepopuleran The Quarryman menjamur kemana – mana.