Namaku, John. Sejak kecil, aku
tinggal bersama tante dan omku. Orang tuaku berpisah sewaktu aku kecil. Ayahku melaut
dan tak pernah terdengar kabarnya lagi, sedangkan ibuku, dia menikah dengan
lelaki lain.
Sore itu waktu Liverpool, aku dan
omku tengah memasang radio di kamarku. Setelah itu, menyetel lagu Tchaikovsky
dan kami bersama meminum beer sampai
larut malam, sedangkan tanteku, dia hanya membaca novel sambil … “Jangan
mainkan Tchaikovsky terlalu kencang” teriak tanteku dibawah. “Oke, Mimi,
hahahahaha” balas kami. “Kau tau John ?” kata omku, “Mimi tidak pernah bahagia,
bahkan setelah menikah denganku.”
Aku hanya diam sambil tiduran di atas
ranjangku. Kemudia omku bangun dan beranjak keluar dari kamarku. Tapi tiba –
tiba dia jatuh. Aku tertawa setelah itu, aku pikir dia pingsan karena terlalu
mabuk. “George, bangunlah. Hahaha, you gotta be kidding me, hahaha.” Sedetik setelah
aku tertawa, aku sadar bahwa omku tidak pingsan.
Tante Mimi segera menelepon
ambulance, ambulance datang 3 menit kemudian. Om George ke rumah sakit bersama
Tante Mimi saat itu. “Dia akan baik saja secepat hujan.” kata Tante Mimi dengan
santai.
Tante Mimi menatapku dengan tatapan
kosong di pagi harinya. “George telah mati.” 3 kata yang saat itu tidak
kupercayainya. “hahaha, kau bohong, kan ?.” Tante Mimi langsung pergi ke dapur
tanpa mengucap sepatah katapun. Aku menangis dan langsung memeluk Tante Mimi
dari Belakang.
“Tolonglah, jangan berbuat hal tolol.”
Katanya dengan nada yang datar.
“Kalau kau ingin melakukannya,
lakukanlah di kamarmu.” Aku bisa melihat kesedihan dari matanya, tapi aku tau
dia adalah wanita yang kuat. Aku bahkan tidak melihat air matanya jatuh.
Setelah itu, kami mengkremasi Om
George dan meninggalkan abunya di pemakaman terdekat. Dan Tante Mimi tetap
menahan air matanya yang kuyakin mampu mengisi penuh gelas kosong.
Keesokan paginya, aku dan sepupuku
pergi ke rumah ibuku, Julia. Tapi sebelum kutinggalkan rumah, aku berpamitan
dengan Tante Mimi.
“John, apa kau telah membawa
kacamatamu ?” Tanya Tante Mimi.
“Ada di kantung bajuku.” “Apa kantung
bajumu buta ?” Segera aku langsung memakai kacamataku. “Well, sekarang kalian
harus berhati – hati. Berhati – hati pada siapapun kalian
Kami berjalan ke rumah Ibuku, Julia. Saat
sampai, Julia langsung memelukku hangat. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir
kalinya Julia memelukku.
“Aku tau kau akan datang,” kata Julia,
“Bagaimana aku tau ? Karena aku membuat
kue.” Julia membagikan kuenya untukku “Bagaimana ? Enak ?” Julia bertanya
padaku, aku hanya mengangguk dan tersenyum. “Vanilla Buns” lanjut Julia. Julia
kemudian membagikan kuenya ke seluruh penghuni meja makan.
Ibuku adalah seorang Rock and Roll
sejati. Saat dia melihatku membawa mouthie
(harmonica) dia langsung meminta izin
untuk memainkannya. Dan aku setuju untuk itu. Dia memainkannya dengan indah. Bagai seorang
Rocker professional.
Julia dan aku pergi ke suatu bar. Dia
menyalakan rokoknya, bernyanyi dan menari Rock
and Roll.
“Step
in my rocket and don’t be late, We’re pulling out about half past eight” itulah
sedikit lirik yang dia nyanyikan saat itu. “Apa kau tau Rock and Roll ?” Tanya Julia. Aku hanya diam dan tersenyum.
Hari demi hari ku jalani dengan
Ibuku, aku bolos dari sekolah dan mengenal Rock and Roll dengan Ibuku. Aku melakukannya
diam – diam tanpa sepengetahuan Tante Mimi. Akhirnya suatu hari aku memohon
untuk diajarkan memainkan banjo dengan musik Rock and Roll.
“Ooh,
Maggie, Maggie Mae, They have taken her away, and she won’t be walking Lime
Street any more. Well, the judge, he guilty found her of robbing a homeward
bounder. You dirty, robbin’ no good Maggie Mae.” Dia bernyayi Maggie Mae, lalu aku bertanya “Siapa
Maggie Mae ?” dia menjawab “Seorang Pelacur.”
Aku berlatih siang malam untuk mampu
memainkan musik Rock and Roll dengan banjo Ibuku. Sampai akhirnya aku menemukan
nadaku sendiri.
Suatu ketika, Tante Mimi mendapat
laporan dari sekolah bahwa aku bolos sekolah. Tante Mimi langsung ke rumah
Ibuku dan langsung memarahi kami. Saat
itu, kami sedang memainkan lagu “That
Will be the Day”. “Ini mungkin hidupmu, kekacauan umum yang besar, tapi
bukan dia. Apakah kau sadar dia telah diskors ?” teriak Tante Mimi. “Ya” jawab
Ibuku. Kemudian Tante Mimi menyuruhku untuk pulang, tapi aku tidak mau. Ibuku lalu
mengusir Tante Mimi “Get out of my house.”
Lalu aku pulang ke rumah Tante Mimi. Lalu
aku bilang “Aku akan membuat sebuah group band Rock and Roll.” Tak kusangka,
dia mengizinkannya, segera setelah itu, Tante Mimi mengajakku untuk membeli gitar
untukku. Gallotone Champion, seharga 7 pounds, Tante Mimi menawarnya dari 8
ponds sekian, itu harga yang cukup besar saat itu.
Aku kembali sekolah untuk membuat
band skiffle-ku sendiri. Aku merekrut
anggota bandku di toilet sekolah, cukup lucu tapi itu faktanya. Konser pertama
kami adalah di atas truk kecil dan di sebuah karnaval. Band kami menyanyikan
lagu Maggie Mae, cukup indah saat kami memainkannya.
Di balik layar setelah permainan kami
selesai, ada seorang anak ingin bergabung dengan band kami, sebut saja Paul.
“Mau beer ?” tanyaku pada Paul.
“Well, gue suka teh. Ada yang mau request ?” Paul bertanya lagu apa yang
harus dinyanyikannya. Lalu dia memainkan lagu Twenty Flight Rock dengan keren dan tangan kiri, sesuatu yang unik
buat kami.
“Berapa umurmu ?” Tanyaku pada Paul “Lima
belas.” Jawab Paul “Kapan ?” tanyaku lagi “Bulan Lalu.” Jawab Paul. “Maaf,
Tick-tock, senang bertemu denganmu, tapi kami ada latihan.” Itulah kalimatku
saat menolaknya masuk ke band. Tapi sesaat sebelum Paul pergi, aku mengajaknya
untuk berlatih gitar bersama di rumah Tante Mimi.
“Blue Moon You saw me standing alone without a dream in my heart.” Tak lama kemudian, Tante Mimi yang
sedang membaca novel dan menikmati kedamaian terganggu, dan mengusir kami
keluar rumah.
Aku berlatih, waktu demi waktu tanpa
memperdulikan nilaiku di sekolah. Aku membuat banyak laguku sendiri. Sampai akhirnya
Tante Mimi mendapat laporan tentang nilaiku. “Dimana gitarku !” tanyaku pada
Tante Mimi. “Aku telah menjualnya.” “Tumbuhlah, John. Berhentilah bertingkah
seperti anak kecil.” Aku lalu pergi ke rumah Ibuku untuk meminta uang dan
menebus kembali gitar yang telah menemaniku selama ini.
Dengan gitar yang sudah ditebus, kini
aku dan bandku telah melakukan konser di banyak club dan café di Liverpool. Ingatlah
satu hal, di saat itu Rock and Roll sudah banyak ditinggalkan orang, Jazz
menjamur dimana – mana. Tapi ingatlah, Rock and Roll tak akan mati.
Lalu kami bertemu dengan George di
bus dan mengajaknya untuk bermain di band. George, Aku dan Paul memegang Gitar
dan Stuart sebagai Drummer, It’s simply
awesome for local band, itulah kurang lebih kalimat yang ada di pikiranku. Dengan
singkat, kepopuleran The Quarryman menjamur kemana – mana.